Hikmah Dan Ilmu Menurut Al-Qur’an

Makna leksikal hikmah adalah ucapan dan perbuatan yang sesuai dengan kebenaran dan realitas, sampai kepada kebenaran dengan media ilmu dan akal dan atau yang membuat manusia berdiri di atas rel kebenaran. Ilmu adalah mengetahui, mencerap sebuah hakikat, dan pengetahuan.

Hikmah Dan Ilmu Dalam Al-Qur’an:

Redaksi hikmah berulang kali disebutkan dalam al-Qur’an.  Tentang redaksi hikmah ini terdapat pendapat beragam dari para penafsir. Sebagian berkata, yang dimaksud dengan hikmah adalah kenabian. Sebagian lainnya berkata bahwa maksud hikmah adalah syariat-syariat, ilmu halal dan haram. Dan sebagian besar lainnya memaknai hikmah sebagai pengetahuan al-Qur’an. Dan sebagian lagi memaknai sampainya pada hakikat pesan Tuhan dan sebagainya. Namun pendapat Allamah Thaba-thabai Ra adalah pendapat yang menyeluruh sedemikian sehingga pendapat-pendapat lainnya dapat dijadikan sebagai contoh dari pendapat Allamah ini.
Allamah Thaba’thabai berkata bahwa makna hikmah adalah mantap (mutqan) dan kokohnya  (muhkam) bentuk ilmu. Karena hikmah merupakan perlambang kekokohan (istihkam) dan tidak dapat sirna. Allah Swt menamai al-Qur’an sebagai “Kitâb Hakîm” lantaran ketika al-Qur’an bertutur-kata, ia bertutur kata dengan baik dan di samping itu disertai dengan argumen dan dalil.  Redaksi ilmu juga acap kali berulang dalam al-Qur’an.  Adapun makna-maknanya adalah pengetahuan, menerangkan dan mengungkapkan, digunakan untuk dalil dan argumen.
Setelah menelaah dan mengkaji dalam penggunaan klausul ilmu dan derivatnya, dapat disimpulkan bahwa seluruh maujud memiliki ilmu, sebagaimana Allamah Thaba-thabai Ra menegaskan pada tafsir ayat “"Tujuh petala  Langit, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Qs. Al-Isra [17]:44) redaksi kalimat “tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka" adalah sebaik-baik dalil bahwa yang dimaksud dengan tasbih seluruh makhluk adalah tasbih yang bersumber dari ilmu dan terekspresi dalam bahasa lisan. Karena apabila yang dimaksud adalah bahasa tubuh (hâl) seluruh makhluk dan penunjukkannya pada keberadaan Pencipta maka tiada lagi bermakna kalian tidak memahami tasbih mereka! Terdapat ayat-ayat lainnya yang menunjukkan pada makna ini.

Perbedaan hikmah dan ilmu:

Hikmah dan ilmu terkadang disandarkan kepada Allah Swt dan atas alasan ini disebut sebagai hikmah Ilahi; menciptakan seluruh makhluk dengan segala kemantapan dan jauh dari kesia-siaan. Dan pengadaan ini bersandar pada ilmu yang tak-terbatas. Sebagai kesimpulannya, hikmah dan ilmu merupakan sifat dzat Allah swt, akan tetapi perbuatan Ilahi dicirikan sebagai hikmahs, mantap, berasaskan kebenaran dan terbebas dari kebatilan, maka dengan demikian hikmat tergolong sebagai sifat perbuatan Tuhan. Bagaimanapun, karena sifat dzat Tuhan merupakan dzat-Nya itu sendiri, pada hakikatnya tidak akan ada perbedaan antara dua sifat ini, kecuali dengan memperhatikan sisi-sisinya. Hakîm dan 'alîm (bentuk hiperbola) keduanya menunjukkan kepada pengetahuan Tuhan, akan tetapi “hikmah” ghalibnya menjelaskan dimensi praktis dan ilmu menerangkan sisi teoritisnya. Dengan kata lain, sifat ilmu adalah pengetahuan tak-terbatas Tuhan dan sifat hakim adalah dari sisi tujuan, pandangan dan perhitungan dalam menciptakan alam dan menurunkan al-Qur’an. Terkadang dua sifat ini disandarkan kepada manusia dimana hikmah pada diri manusia pengenalan terhadap makhluk dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan terpuji, dan hakîm adalah orang yang merupakan ahli makrifat dan memiliki pemahaman mendalam dan akal sehat. Imam Musa bin Ja’far As bersabda: “Yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan akal.” Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hikmah merupakan satu kondisi dan tipologi pencerapan dan penentuan yang bersandar pada ilmu yang sejatinya adalah milik Tuhan. Bahkan sebagaimana sabda Imam Shadiq As, “Allah Swt merupakan ilmu itu sendiri dimana tiada jalan bagi kebodohan di dalamnya.”
Matlab lainnya bahwa ilmu memiliki pelabgai derajat dan tingkatan tertinggi keberadaan hingga manusia bahkan seluruh maujud yang tidak berakal juga memiliki ilmu. Dan dapat di antara seluruh maujud ini dan ilmu sejalan dan sesuai dengan kandungan wujudnya. Berbeda dengan hikmat yang merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat orang berakal.

Penjelasan Detail:

Makna leksikal
“Hikmah” adalah sampainya kepada kebenaran dan realitas melalui media ilmu dan akal.[1] Hikmah besrasal dari klausul “hukm” yang bermakna menahan dan menawan. Dan makna pertamanya adalah menghukum yang menjadi sebab tercegahnya dan tertahannya kezaliman. Di antara tipologi hikmah adalah menahan manusia dari kebodohan dan kepandiran.[2] Adapun 'ilmu bermakna mengetahui, pengetahuan,[3] mencerap, memahami hakikat, dan asas sesuatu.[4] Yang menunjukkan pada efek-efek yang terdapat pada segala sesuatu dan melaluinya yang lain dapat dibedakan.[5]

Hikmah Dan Ilmu Dalam Al-Qur’an

Redaksi hikmah dalam al-Qur’an diulang sebanyak 20 kali. Dalam menjelaskan dan menafsirkan hikmah, para penafsir mengemukakan dalil-dalil dimana yang terpenting dari dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan hikmah adalah kenabian.[6] Sebagaimana hal ini disinggung pada ayat, “Mereka (bala tentara Thâlût) berhasil mengalahkan bala tentara Jâlût dengan izin Allah, dan (dalam peperangan itu) Dawud berhasil membunuh Jâlût. Kemudian Allah menganugrahkan kerajaan dan hikmah kepada Dawud, dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:251)
2. Yang dimaksud dengan hikmah adalah syariat-syariat (ilmu tentang halal dan haram.)[7] Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Dan Allah mengajarkan kepadanya al-kitab dan hikmah (ilmu tentang halal dan haram) dan Taurat.” (QS. Ali Imran 48)
3. Sebagian besar penafsir berpandangan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan al-Qur’an dan ilmu tentang nâsikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, muqaddam dan muaakkhar dan sebagainya.[8] Dan dalam al-Qur’an disebutkan: “Allah akan menganugrahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah tersebut, ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang yang tak terhingga. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dan memahami hal ini).” (Qs. Baqarah [2]:269)
4. Disebutkan dari sebagian penafsir bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah sampainya kepada hakikat pesan Tuhan dalam wilayah ucapan dan perbuatan.[9]
5. Sebagian lainnya berkata, yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan luas agama.[10]
6. Sebagian berkata bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan penerimaan yang benar dari agama.[11]
7. Dan sesuai dengan pandangan penafsir lainnya hikmah adalah pengetahuan yang manfaat dan faidahnya adalah untuk membangun manusia.[12]
8. Dan akhirnya, Allamah Thaba-thabai berkata, Hikmah adalah muhkam (kokoh) dan mutqan (mantap)-nya bentuk ilmu.[13] Dimana tampaknya makna yang disampaikan oleh Allamah Thab-thabai ini dapat dipandang sebagai pandangan lengkap dan menyeluruh (jâmi) atas pandangan lainnya.
Sejatinya, seluruh pendapat yang dilontarkan adalah instanta luaran (mishdaq) dari makna yang diberikan oleh Allamah ini. Karena kalimat mahkamah, hikmah dan semisalnya adalah menunjukkan pada kekokohan (istihkam) yang tidak dapat sirna.[14]
Allah Swt menamai al-Qur’an sebagai “Kitâb Hakîm” karena tatkala al-Qur’an bertutur-kata, ia bertutur kata baik, dan disertai dengan argumen dan dalil. Tutur-kata yang tidak disertai dengan argumen adalah tutur kata yang tidak kokoh (muhkam).[15] Dinukil dari Nabi Saw yang bersabda: “Allah Swt menganugerahkan nikmat tak-ternilai al-Qur’an dan hikmah. Dan rumah yang tidak memiliki hikmah di dalamnya adalah kehancuran. Oleh karena itu tuntutlah ilmu dan pengetahuan, jangan sampai mati engkau dalam keadaan bodoh dan pandir.”[16]
Adapun redaksi ilmu disebutkan sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an. namun  derivat kata ini sangat banyak dalam al-Qur’an. redaksi kalimat ini dalam al-Qur’an terkadang bermakna mengetahui. "Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing." (Qs. Al-A'raf [7]:6) Terkadang bermakna menerangkan dan mengungkapkan. " Kemudian Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui, manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu)." (Qs. Al-Kahf [18]:12)
Allamah Thab-thabai Ra dalam mengomentari ayat “agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan,"  menuturkan, “Yang dimaksud adalah ilmu aktual dan hal itu adalah munculnya sesuatu dan kehadirannya dalam bentuk wujud tertentu di sisi Tuhan. Ilmu dengan makna ini banyak digunakan dalam al-Qur’an. Dan terkadang bermakna dalil dan argumen.[17]
Secara umum, tatkala kita mengkaji dan menelaah ayat-ayat dan penggunaan klausul dan derivatnya, akan nampak bahwa seluruh maujud memiliki ilmu, sebagaimana Allamah Thaba-thabai Ra dalam tafsir ayat, "tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." (Qs. Al-Isra [17]:44) merupakan sebaik-baik dalil bahwa yang dimaksud dengan tasbih seluruh maujud di sini adalah tasbih yang bertitik-tolak dari ilmu. Dan tasbih mereka itu adalah dalam bahasa lisan (hâl). Karena apabila yang dimaksud adalah bahasa tubuh (qâl) dan dalil atas keberadaan Pencipta, maka kalimat ini tidak akan memiliki makna lagi, “Kalian tidak memahami tasbih mereka.”[18]
Dan ayat-ayat lainya yang menunjukan pada makna in seperti, “Pada hari itu bumi menceritakan seluruh beritanya." (Qs. Al-Zilzalah [99]:5) Juga ayat-ayat yang senada yang menunjukkan pada kesaksian anggota badan manusia, terungkapkannya dan pembicaraan mereka dengan Tuhan, serta jawaban anggota badan terhadap pertanyaan-pertanyaan Tuhan. Namun harus diperhatikan bahwa ilmu memiliki tingkatan dan derajat.

Perbedaan Hikmah Dan Ilmu

Sebelumnya menjelaskan perbedaan antara dua kalimat ini, perlu diketahui bersama bahwa hikmah dan ilmu terkadang disandarkan kepada Tuhan. Dimana terdapat sembilan puluh dua lafaz hakim dan seratus lima puluh enam redaksi alim disebutkan dalam al-Qur’an sebagai sifat Allah Swt.
'Alîm dan hakîm dari sisi sifat dzat Allah Swt karena hikmah Ilahi adalah menciptakan seluruh maujud dengan seluruh perangkat penting, kuat dan kokoh serta jauh dari segala kesia-siaan. Dan penciptaan ini tidak akan terjadi tanpa ilmu nir-batas yang merupakan sifat dzat Allah Swt. Kendati hikmah juga terogolong sebagai sifat perbuatan karena dari sisi bahwa perbuatan tercirikan dengan sifat hikmah, kokoh dan benar. Serta jauh dari segala bentuk kebatilan.
Bagaimanapun, karena sifat dzati Allah Swt adalah dzat-Nya itu sendiri maka tidak terdapat perbedaan antara kedua sifat ini kecuali dengan sebutan. Karena hakîm dan 'alîm keduanya menunjukkan pada pengetahuan Allah Swt. Namun “hikmah” biasanya menjelaskan sisi-sisi praktis. Dan ilmu ghalibnya mendeskripsikan dimensi-dimensi teoritisnya. Dengan kata lain, “ilm” mewartakan pengetahuan tak-terbatas Allah Swt. Sementara hikmah menceritakan ihwal perhitungan dan tujuan yang disasar pada penciptaan semesta, pewahyuan al-Qur’an.[19]
Terkadang kedua kalimat ini, disandarkan kepada mumkin al-wujud yang memiliki akal (manusia). Dimana hikmah dalam diri manusia adalah mengenal seluruh maujud dan melaksanakan segala perbuatan baik dan terpuji.[20]
Dengan kata lain, mengenal nilai-nilai dan parameter-parameter yan dengannya manusia dapat mengenal kebenaran dan kebatilan apa pun bentuknya adalah hikmah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang disebut oleh sebagian filosof sebagai “kesempurnaan kekuataan teoritis” (kamal quwwah nazhariyyah) [21]
Oleh karena itu, hakim adalah seseorang yang merupakan ahli makrifat dan memiliki pemahaman yang mendalam dan akal sehat. Dimana Imam Musa bin Ja’far bersabda kepada Hisyam bin Hakam, “Yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan akal.” [22]
Sebagai kesimpulannya, “hikmah” merupakan satu kondisi khusus dan tipologi pencerapan dan penentuan yang bersandar pada ilmu yang pada hakikatnya adalah milik Tuhan. Bahkan sebagaimana sabda Imam Shadiq As yang menegaskan bahwa Allah Swt adalah ilmu itu sendiri dimana kebodohan tidak ada jalan di dalamnya.”[23] Ilmu adalah hakikat sebagaimana yang diterima oleh Luqman al-Hakim dari sisi Allah Swt. "Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, (dan Kami berkata kepadanya), “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Luqman [31]:12)
Sebagian filosof berpandangan bahwa berpandangan, menelaah dan berpikir tidak menciptakan ilmu dan pengetahuan, melainkan ia menyiapkan ruh manusia untuk menerima segala ma’qulat dan tatkala ruh manusia telah siap menerima, emanasi ilmu dari Allah Swt akan memancar kepada ruh manusia.[24] Kemudian pada tataran perbuatan terhasilkan kondisi dan tipologi pencerapan serta penentuan dalam diri manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia adalah sebab tersiapkannya ruh dalam menerima ilmu. Dan menerima ilmu ini merupakan pendahuluan dan sebab terciptanya kondisi spiritual dalam diri manusia untuk menentukan antara kebenaran dan kebatilan, dan mencerap pelbagai penghalang dan segala sesuatu yang merusak.

Poin Terakhir:

Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa ilmu memiliki tingkatan dan derajat. Semenjak tingkatan tertinggi (Allah Swt) hingga manusia dan bahkan maujud-maujud lainnya yang tidak memiliki akal memiliki ilmu. Dan di antara seluruh maujud di alam semesta keberadaan seluruhnya ilmu dapat disandarkan kepada mereka sesuai dengan kandungan wujudnya. Berbeda dengan hikmah hanya yang merupakan tipologi dan sifat bagi mereka yang berakal. [indonesia.islamquest.net]
Catatan Kaki:

[1] Mufrâdât Raghib, klausul "hukm."
[2] Mu'jam Maqâiis al-Lugha, klausul "hukm."
[3] Rarasyi, Qamus Qur'ân, jil. 5, hal. 32, klausul "hukm."
[4] Mufrâdât Raghib, klausul  "ilm."
[5] Mu'jam Maqâiis al-Lugha, klausul "ilm." 
[6] Majmâ' al-Bayan, jil. 2, hal. 151, Muassasah al-A'lami lil Mathbua'at, 1415. 
[7] Ibid, hal. 298. 
[8] Ibid, hal. 194.  
[9] Ibid. 
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid
[13] Allamah Thab-thabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 2, hal. 351.
[14] Abdullah Jawadi Amuli, Qur'ân dar Qur'ân, tafsir maudhu'i, jil. 1, hal. 297.
[15] Ibid.
[16] Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur, jil. 1, hal. 335. 
[17] Lihat Qs. Al-Kahf [18]:5
[18] Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, ibid, jil. 17, hal. 609.
[19] Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 15, hal. 399.
[20] Mufrâdât Raghib, klausul hukm.
[21] Tafsir Nemuneh, ibid. 
[22] Ibid.
[23] Syaikh Hurr al-Amili, al-Fushûl al-Muhimmah fii al-Ushûl al-Aimmah, jil. 1, hal. 288.
[24] Tafsir Nemuneh, jil. 16, hal. 349.

KRITERIA HISAB WUJUD AL-HILAL YANG DIGUNAKAN MUHAMMADIYAH DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH (Prespektif Hukum Islam)

Oleh: Dadang Syaripudin
KRITERIA HISAB WUJUD AL-HILAL YANG DIGUNAKAN MUHAMMADIYAH  DALAM PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIYAH (Prespektif Hukum Islam)
Oleh: Dadang Syaripudin

A.    Pendahuluan
Perbincangan dan penggunaan hisab di Muhammadiyah su-dah sejak lama berlangsung, bahkan dapat dikatakan sama tua-nya dengan usia Muhammadiyah itu sendiri. Sejarah mencatat, bahwa tindakan kongkret yang pertama kali dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan – sebelum mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912 – adalah yang berkaitan dengan kemampuannya da-lam menguasai hisab (Ilmu Falaq), yaitu mengoreksi arah kiblat Masjid Keraton Yogyakarta.  Kepandaiannya itu diwarisi oleh putranya K.H. Siraj Dahlan yang kemudian dikembangkan di Muhammadiyah oleh K.H. Wardan Diponingrat.
Namun demikian, secara formal Muhammadiyah baru menga-kui hisab sebagai salah satu cara dalam penetapan waktu beriba-dah, khususnya awal bulan Ramadhan dan Syawal, pada Mukta-mar Tarjih tahun 1932 di Makasar.
B.    Penetapan Awal Bulan Qamariyah
Dalam Muktamar Tarjih tersebut ditetapkan bahwa untuk menentukan awal bulan Qamariyah dapat ditempuh melalui empat metode: 1) ru’yaú al-hilâl; 2) kesaksian orang yang adil; 3) menggenapkan (istikmâl) bilangan sya‘ban 30 hari; dan 4) hisab.


Ru’yaú al-hilâl dipergunakan oleh Muhammadiyah, manakala posisi hilal berdasarkan perhitungan sudah berada pada keting-gian yang memungkinkan untuk diobservasi. Jika posisi hilal su-dah berada pada ketinggian tersebut, Muhammadiyah menetap-kan awal bulan Qamariyah (akan memulai ibadah puasa Rama-dhan) berdasarkan rukyat.
Persaksian pada hakikatnya sama dengan cara yang pertama yaitu terlihatnya hilal, perbedaannya terletak pada langsung atau tidaknya bulan Ramadhan (baru) itu dapat diketahui. Sedangkan cara yang ketiga dapat dikatakan sebagai pengganti cara pertama, sehingga dari segi ini dapat dikatakan sama dengan yang pertama (rukyat) namun dari segi substansinya adalah hisab sekalipun masih sangat sederhana, dengan menggenapkan (istikmâl) umur bulan yang sedang berlangsung selama 30 hari.
Kemudian jika posisi hilal tidak mungkin dirukyat karena berdasarkan hasil perhitungan posisinya masih berada di bawah ufuk, Muhammadiyah menggunakan istikmâl sebagai jalan keluar ketika menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi, jika hilal itu tidak mungkin dirukyat karena tertutup awan atau posisinya masih berada pada ketinggian yang belum me-mungkinkan dapat dilihat, maka jalan yang ditempuh adalah hisab.
Dengan demikian, penetapan awal bulan Qamariyah me-nurut Muhammadiyah, pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yakni dengan melihat hilal (ru’yaú al-hilâl) dan hisab yang masing-masing dapat berdiri sendiri.
Secara astronomis, hilal (crescent) itu adalah penampakan bulan yang paling kecil (tampak seperti garis lengkung) meng-hadap ke bumi yang terjadi beberapa saat setelah ijtimâ‘.  Ru’yaú al-hilâl artinya melihat hilal pada saat terbenam matahari pada tanggal 29 bulan Qamariyah.  Adapun yang dimaksud dengan hisab di sini, adalah perhitungan mengenai posisi hilal, apakah sudah berada di atas ufuk (wujud) atau masih dibawah ufuk (be-lum wujud). Hilal dapat dinyatakan sudah wujud jika matahari telah terbenam lebih dahulu daripada bulan.
Mungkinkah hasil hisab berbeda dengan hasil rukyat? Ke-mungkinannya dapat terjadi dalam dua kasus. Pertama, menurut hisab hilal belum wujud; ketika matahari terbenam bulan berada di bawah ufuk atau hilal sudah wujud tetapi menurut hisab belum berada pada ketinggian yang dapat dilihat, namun ada yang mengaku telah melihat hilal. Dalam hal ini, secara konsep-tual sesuai dengan hasil keputusan Muktamar Tarjih tahun 1932, yang harus dijadikan pegangan adalah hasil rukyat.  Kedua, menurut hisab hilal sudah wujud dan bahkan sudah berada pada posisi atau ketinggian yang memungkinkan untuk dapat dilihat, tetapi tidak ada orang berhasil melihatnya. Dalam hal ini bagi Muhammadiyah awal bulan ditetapkan berdasarkan hisab.
Dalam prakteknya, penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan Qamariyah di Muhammadiyah lebih dominan, bahkan be-lakangan cenderung memposisikan hilal lebih kuat daripada ruk-yat. Hal ini terbukti dengan adanya penolakan Muhammadiyah atas hasil rukyat yang terjadi pada akhir Ramadhan 1412 H dan 1413 H. saat menetapkan tanggal 1 Syawwal 1412 H (April 1992 M) dan 1 Syawwal 1413 H. (Maret 1993).  Hasil hisab Muhammadiyah menunjukkan bahwa pada saat terbenam matahari pada hari Jumat tanggal 29 Ramadhan 1412 H. (3 April 1992 M.) dan saat terbenam matahari, hari Selasa tanggal 29 Ramadhan 1413 H./ 23 Maret 1993 M. posisi bulan negatif di bawah ufuk walaupun ijtimâ‘ terjadi beberapa jam sebelum matahari terbenam.  Untuk itu, keputusan tarjih di atas sudah dikoreksi (mansûó) oleh keputusan Musyawarah Nasional Majelis Tarjih (d/h Muktamar Tarjih) tahun 2000 di Jakarta yang me-nyatakan bahwa “laporan rukyat pada posisi hilal masih di bawah ufuk harus ditolak”.
 
C.    Perkembangan Kriteria Hisab
Dalam kaitannya dengan pertanda yang menunjukkan awal/ akhir bulan. Apa dan bagaimana kriterianya? Secara umum, hisab hanya menghitung posisi bulan terhadap matahari dan matahari serta bulan terhadap bumi pada tempat-tempat tertentu. Sedang-kan untuk menentukan awal bulan (tanggal 1 bulan Qamariyah) dikenal beberapa kriteria. Paling tidak, ada tiga kriteria yang sudah dikenal Muhammadiyah sekurang-kurangnya sejak tahun 1957,  sebagaimana disebutkan oleh K.H. Wardan Diponingrat:
Pertama, kriteria ijtimâ‘ qabla al-gurûb: kriteria ini memperhi-tungkan kapan terjadinya ijtimâ‘ (conjunction).  Jika ijtimâ‘ ter-jadi sebelum matahari terbenam, maka malam hari dan keesokan harinya dapat ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi jika ijtimâ‘ terjadi setelah matahari terbenam, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.
Kedua, kriteria imkân al-ru’yaú, kriteria ini memperhitungkan ketinggian hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadinya ijtimâ‘.  Jika hilal menurut hisab sudah mencapai pada ke-tinggian yang memungkinkan dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dapat ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi jika belum mencapai pada ketinggian yang memungkinkan dapat dilihat, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Namun dalam penentuan kriteria imkân al-ru’yaú ini belum ada kesepakatan,  sehingga bagaimanapun juga akan senantiasa terjadi keragaman dan ketidakpastian, baik antara ahli hisab dengan rukyat maupun dengan sesama ahli hisab.
Ketiga, kriteria wujûd al-hilâl, kriteria ini menganggap hilal sudah wujud bila matahari terbenam (sun set) lebih dahulu daripada bulan terbenam (moon set) pada akhir bulan Qamariyah tanpa ada batasan minimal ketinggian hilal.  Jika hilal sudah wujud sekalipun sejarak 1 menit atau kurang, maka senja dan keesokan harinya sudah dimulai bulan baru.  Akan tetapi bila bulan terbenam lebih dahulu daripada matahari, berarti hilal belum wujud (negatif berada di bawah ufuk) maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.

D.    Konsep Wujûd al-Hilâl dan Prosedur Perhitungannya
Kriteria wujûd al-hilâl – sebagai kriteria terakhir yang dipilih oleh Muhammadiyah sejak Ramadhan 1388 H/1968M – meng-alami perkembangan. Semula yang dimaksud dengan wujûd al-hilâl itu adalah matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan, yang berarti ukuran yang dijadikan pembatas terbenam itu adalah ufuk mar’i. Sekarang yang dimaksud dengan wujûd al-hilâl itu adalah apabila pada saat matahari terbenam itu bulan (hilal) berada di atas ufuk hakiki.
Namun demikian, bukan berarti kriteria wujûd al-hilâl dengan patokan ufuk hakiki sudah tidak memiliki persoalan. Jika yang dimaksud wujûd al-hilâl adalah matahari terbenam lebih dahulu daripada bulan setelah terjadinya ijtimâ‘, bukankah seharusnya “ufuk mar’i”-lah yang harus dijadikan patokan, karena paralaks bulan pada posisi bulan dengan ufuk relatif besar? Bisa terjadi berdasarkan patokan ufuk hakiki hilal sudah positif di atas ufuk (wujud), padahal bulan lebih dahulu terbenam dari matahari  karena fenomena terbenam acuannya adalah ufuk mar’i.
Untuk itu, kriteria wujûd al-hilâl dengan patokan hilal positif di atas ufuk hakiki mensyaratkan dua hal: 1) ijtimâ‘ terjadi sebelum matahari terbenam; dan 2) posisi bulan pada saat matahari terbenam sudah berada di atas ufuk hakiki. Dengan kata lain, kriteria wujûd al-hilâl itu mensyaratkan terjadinya ijtimâ‘ plus posisi bulan positif di atas ufuk hakiki pada saat matahari terbenam.  Hal ini sebagai yang ditegaskan oleh Djarnawi Hadikusumo dengan pernyataannya: “... lebih tepat dan praktis pedoman yang diguna-kan untuk menetapkan tanggal 1 ialah wujûd al-hilâl, dan yang lebih obyektif pula. Bagaimanapun, kelihatan atau tidak, apabila hilal sudah wujud pasti saat itu sudah masuk tanggal satu bulan baru”. 
Cara kerja hisab, secara umum sebagaimana disebutkan di atas, hanyalah melakukan perhitungan posisi bulan terhadap ma-tahari dan matahari serta bulan terhadap bumi pada tempat-tempat tertentu. Apa saja yang harus dihitung? Bagaimana cara menghitungnya? Sangat tergantung pada metode hisab yang digunakan. Kriteria wujûd al-hilâl akan berbeda dengan kriteria ijtimâ‘ qabl al-gurûb, bahkan metode dan kriteria sama pun belum tentu hasil perhitungannya sama karena mungkin saja sumber data dan/atau rumus yang digunakan berbeda .
Dalam kriteria wujûd al-hilâl Muhammadiyah yang harus diketahui adalah: 1) saat terbenam matahari (meliputi jam, menit, dan detik); 2) saat terjadinya ijtimâ‘ matahari dan bulan (meliputi jam, menit, dan detik); dan 3) posisi bulan (hilal) pada ufuk hakiki pada saat terbenam matahari . Jika hasil perhi-tungan menunjukkan posisi bulan positif di atas ufuk hakiki, maka berarti matahari lebih dahulu terbenam daripada bulan. Kondisi semacam inilah dikatakan hilal sudah wujud menurut Muhammadiyah. Sebaliknya, jika hasil perhitungan menunjuk-kan posisi bulan negatif di bawah ufuk, maka berarti bulan lebih dahulu terbenam daripada matahari. Kondisi semacam ini dikata-kan hilal belum wujud.
Sumber data dan metode perhitungan dilakukan dalam tiga tahapan. Mula-mula menggunakan data sekaligus metode perhi-tungan yang terdapat dalam buku: Hisab Urfi dan Hakiki karya Muòammad Wardan. Kemudian beralih ke sumber data dan metode perhitungan yang terdapat dalam buku Hisab Hakiki Lembaga Falak dan Hisab Muhammadiyah Yogyakarta. Terakhir menggunakan data yang terdapat dalam Ephemeris Hisab dan Rukyat dengan metode perhitungan yang sesuai dengan jenis data yang disediakan.
Data yang disajikan dalam ketiga sumber di atas, pada dasar-nya adalah data tentang gerak matahari dan bulan berikut koreksi-koreksinya. Dalam buku, Hisab Urfi dan Hakiki data yang disajikan mengacu pada kalender Hijriyah, sehingga satuan waktu yang digunakan mengacu pada kalender Qamariyah dengan waktu setempat daerah Yogyakarta yang koordinat geo-grafisnya adalah  = -07° 48’ dan  = 110° 21’ BT. Data matahari dan bulan itu disajikan dalam bentuk tabel-tabel dengan epoch akhir tahun 1350 H. Dan akhir tahun 1380 H. Data gerak matahari dan bulan disajikan dalam setiap tahun, bulan, hari, jam dan menit. Koreksi (ta‘dîl) baik untuk menda-patkan data posisi matahari maupun bulan pada suatu saat ter-tentu disajikan dalam bentuk tabel-tabel sekaligus dengan argu-men-argumen dan formula-formulanya .
Dalam buku: “Hisab Hakiki” Lembaga Falak dan Hisab Muhammadiyah Yogyakarta, data-data disajikan dengan menga-cu pada kalender Miladiyah, sehingga satuan waktu yang berlaku dalam kalender Syamsiyah dengan acuan waktu Jawa  = 112° 30’ BT. Data matahari dan bulan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dengan epoch tahun 1960 Januari 0 hari 0 dan jam 00 waktu Jawa. Data gerak matahari dan bulan disajikan dalam setiap tahun, bulan, hari, jam dan menit. Koreksi untuk mengeta-hui posisi matahari dan bulan pada suatu saat tertentu disajikan pula dalam bentuk tabel sekaligus dengan argumen dan rumus-rumusnya. Jika dibandingkan dengan data yang termuat dalam buku Hisab ‘Urfi dan Hakiki, data yang disajikan dalam buku ini lebih lengkap terutama data koreksi untuk gerak bulan.
Dalam Ephemeris Hisab dan Rukyat, data yang tersedia ber-beda dengan data pada dua buku terdahulu, datanya sudah siap pakai dan lebih mudah mengguna-kannya. Data-data mengenai matahari dan bulan dalam setiap tanggal dan jam menurut kalender Miladiyah (Syamsiyah).
Kriteria hisab wujûd al-hilâl Muhammadiyah, sebagaimana metode-metode hisab pada umumnya perhitungan waktu terbenam matahari, ijtimâ‘ dan tinggi bulan dilakukan untuk tanggal 29 dari bulan yang sedang berlangsung. Misalnya, jika menghitung waktu terbenam matahari, ijtimâ‘ dan tinggi bulan pada tanggal 1 Ramadhan 1423 H., maka perhitungan dilakukan untuk tang-gal 29 Sya`ban 1423 H. Karena itu jika yang digunakan sumber data menurut kalender Miladiyah, terlebih dahulu dilakukan konversi tanggal tersebut dengan kalender Miladiyah.
Untuk menentukan saat terjadinya ijtimâ‘ terlebih dahulu dicari longitude rata-rata matahari dan bulan pada suatu waktu tertentu, kemudian dilakukan koreksi-koreksi sehingga mengha-silkan longitude sebenarnya (takwîn òaqîqî) matahari dan bulan. Melalui proses ini, dapat diketahui pula kecepatan gerak mata-hari dan bulan setiap jam. Jika ditemukan selisih antara longitude matahari dan bulan, berarti ijtimâ‘ tidak terjadi pada waktu itu, melainkan sebelum atau sesudahnya. Jika longitude bulan lebih besar daripada matahari, maka ijtimâ‘ terjadi sebe-lumnya dan jika longitude matahari lebih besar daripada bulan, maka ijtimâ‘ terjadi sesudahnya. Untuk itu, dengan mengguna-kan rumus persamaan dapat diketahui waktu ijtimâ‘, yakni selisih longitude matahari dan bulan dibagi selisih kecepatan matahari dan bulan perjam, lalu ditambahkan/dikurangkan terha-dap suatu waktu yang sudah ditentukan, misalnya waktu terbe-nam matahari.
Dengan memperhatikan metode yang digunakan dalam me-nentukan saat terjadinya ijtimâ‘, maka sudah dapat dipastikan bahwa ijtimâ‘ matahari dan bulan menurut Muhammadiyah adalah apabila longitude atau bujur langit matahari dan bulan sama besarnya.  Hal ini perlu ditegaskan karena ada juga yang menetapkan bahwa ijtimâ‘ matahari dan bulan itu jika Ascensio Reckta kedua benda langit tersebut sama besarnya,  bukan bujur langit. Sedangkan untuk menghitung ketinggian bulan dipergu-nakan rumus segitiga bola, dan yang diperhitungkan adalah benar-benar ketinggian bulan bukan busur edar bulan (mukus).

E.    Hisab dan Rukyat dalam al-Quran dan al-Sunnah
Hisab dalam Muhammadiyah mengalami perkembangan me-nuju kesempurnaannya sejalan dengan adanya temuan-temuan baru sains modern dan penggunaannya pun dalam penetapan awal bulan-bulan Qamariyah semakin menguat dan dominan. Hasil hisab mungkin berbeda dengan hasil rukyat, yang sebe-narnya tak lain hanyalah pengakuan orang melihat/tidak melihat hilal, tetapi mesti sesuai dengan fakta alam yang terjadi, karena hisab (ilmu falak/astronomi) dirumuskan berdasarkan hasil peng-amatan (observasi) semenjak ratusan tahun yang lalu yang, ting-kat kesalahannya menurut astronom sangat kecil, kurang dari 1 (satu) menit.
Karena itu, bagi Muhammadiyah, hisab dan rukyat memiliki kedudukan yang sama, masing-masing berdiri sendiri bisa dijadi-kan dasar penetapan awal bulan Qamariyah, termasuk di dalam-nya waktu-waktu ibadah. Namun persoalannya di sini, bukan hanya sekedar akurat, tepat dan sesuai dengan fakta, melainkan lebih dari itu menyangkut sah atau tidaknya suatu peribadatan yang standarnya adalah hukum syari‘ah. Apakah hisab, apalagi dengan metode dan kriteria  di atas memiliki dasar hukum dan argumen-argumen syar‘i sebagaimana rukyat. Bukankah hanya rukyat satu-satunya yang dijadikan dasar penetapan oleh Rasulullah saw?
Sebenarnya, apa yang dijadikan rujukan hisab, secara umum dapat dikatakan sama dengan yang dijadikan rujukan rukyat. Perbedaannya yang pokok terletak pada pemahaman dan penaf-siran terhadap sumber atau dalil hokum, yakni al-Quran dan al-Sunnah. Akan tetapi dalam hal ini, terdapat sedikit perbedaan yang cukup menarik. Ru`yat disebut-sebut secara eksplisit dalam al-Sunnah, tetapi tidak disebut-sebut dalam al-Quran. Sebaliknya hisab secara eksplisit disebut-sebut dalam Quran tetapi tidak dalam Sunnah.
Ayat-ayat Quran yang menyebutkan hisab dalam kaitannya dengan keberadaan posisi bulan dan matahari adalah:

Kemungkinan posisi bulan dan matahari dapat dihitung, mengingat kedua benda tersebut, sebagai disebut dalam Quran masing-masing memiliki orbit (falak) dan periode peredaran tertentu dan teratur, apalagi bulan  memiliki fase-fase penampakan (manzilah) yang secara jelas terlihat dari bumi.

Sementara rukyat didasarkan pada hasil penafsiran dari ayat Quran, seperti dalam surat al-Baqarah berikut ini:

Kata “šahida” dalam ayat ini ditafsirkan oleh sejumlah ulama, sebagai rukyat dan “al-šahra” sebagai hilal, sehingga šuhûd al-šuhur dipahaminya sebagai "ru’yaú al-hilâl” dan hisab tidak bisa dikategorikan ke dalam pengertian šuhûd al-šuhur.  Kelanjutan ayat itu, berbicara tentang orang yang sakit atau orang yang sedang bepergian, sehingga, “faman šahida minkum al-šahr” dapat juga ditafsirkan sebagai “orang yang berada di tempat (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat”.
Sebaliknya, dalam al-Sunnah, bukan “hisab” yang disebutkan secara eksplisit tetapi rukyat seperti yang terdapat dalam hadits dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar dan ‘Abdullâh ibn ‘Abbâs yang diri-wayatkan Mâlik ibn Anas (93-179) dalam kitab-nya Muwaùùa’.

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فقال لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له، وعنه: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الشهر تسعة وعشرون فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له.
عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فقال لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدد العدة ثلاثين

Hadis yang sama baik sanad maupun matannya ataupun yang sedikit berbeda sanad dan matannya namun memiliki kesamaan makna dan substansinya banyak diriwayatkan (taórîj) oleh ulama hadis dalam kitabnya masing-masing.
‘Abd al-Razâq (126-211 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah dan Ibn Umar:
 عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال في هلال رمضان إذا رأيتموه فصوموا ثم إذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فأتموا ثلاثين صومكم يوم تصومون وفطركم يوم تفطرون وزاد ابن جريج في هذا الحديث وأضحاكم يوم تضحون، وعنه: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين.
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله جعل الأهلة مواقيت للناس فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا له ثلاثين يوما، وعنه: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لهلال شهر رمضان إذا رأيتموه فصوموا ثم إذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له ثلاثين يوما
Ibn al-Ja‘d al-Bagdâdî (134-230 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah:
عن أبي هريرة يقول قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم الشهر فعدوا ثلاثين

Muòammad ibn Idrîs al-Šâfi‘î (150-204 H) meriwayatkan dari Abu Hurayrah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم لا تقدموا الشهر بيوم ولا يومين إلا أن يوافق ذلك صوما كان يصومه أحدكم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين

Abu Dâwud al-Ùayâlisî (204 H) meriwayatkannya dari Abu Bakrah, Ibn Umar dan Abu Hurayrah:
عن أبي بكرة قال قال النبي صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين يوما.
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأقدروا له.
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فان غم عليكم فعدو ثلاثين.

Abû Bakr ibn Abî Šaybah (159-235 H) meriwayatkannya dari Ibn `Abas:
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصوموا قبل رمضان صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان حالت دونه غياية فكملوا ثلاثين

Aòmad ibn Òanbal (164-267) meriwayatkannya dari Ibn `Abbas dan Abu Hurayrah,:
عن ابن عباس يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن حال بينكم وبينه سحاب فكملوا العدة ثلاثين ولا تستقبلوا الشهر استقبالا قال حاتم يعنى عدة شعبان ، وعنه: صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن حال دونه غيابه فأكملوا العدة والشهر تسع وعشرون يعنى انه ناقص
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم الشهر فأكملوا العدة ثلاثين ، وعنه: فان غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين ، وعنه: لا تقدموا الشهر بيوم ولا يومين الا أن يوافق أحدكم صوما كان يصومه صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فان غم عليكم فأتموا ثلاثين يوما ثم أفطروا  وعنه: فان غم عليكم فعدوا ثلاثين ، وعنه: لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروا الهلال وقال صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فان غمى عليكم فعدوا ثلاثين ، وعنه: لا تقدموا الشهر يعني رمضان بيوم ولا بيومين الا أن يوافق ذلك صوما كان يصومه أحدكم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فعدوا ثلاثين ثم افطروا

Al-Harîå ibn ‘Uåamah (186-282 H) meriwayatkannya dari Ibn `Abbas:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فعدوا ثلاثين

Al-Buóârî (194-256 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه يقول قال النبي صلى الله عليه وسلم أو قال قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

Muslim (206-261 H) meriwayatkannya dari Abu Hurayrah:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما، وعنه: صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم فأكملوا العدد، وعنه: صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غمي عليكم الشهر فعدوا ثلاثين، وعنه: الهلال فقال إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن أغمي عليكم فعدوا ثلاثين
Berdasarkan hadis-hadis di atas, juga didukung oleh penafsir-an šuhûd al-šuhur sebelumnya, Jumhur ulama menetapkan bah-wa sekalipun awal bulan itu dapat diketahui melalui proses perhi-tungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentu-kan waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat saja. Òarf lam dalam matn hadis “èûmû li ru’yatih" adalah “li al-ta‘lîl” sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal. Keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan berpuasa dan berbuka (‘îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri
قوله صوموا لرؤيته أي لأجل رؤية الهلال فاللام للتعليل والضمير للهلال على حد تورات بالحجاب اكتفاء بقرينة السياق
Memang diakui, yang pernah dipakai dasar penetapan awal bulan oleh Rasulullah hanyalah rukyat atau istikmâl, bukan hi-sab. Akan tetapi tidak berarti harus dengan rukyat atau istikmâl saja, hisab tidak boleh. Hisab tidak atau belum digunakan pada saat itu, bukan karena hisab tidak boleh digunakan. Pada saat itu, kemampuan atau keterampilan hisabnya yang belum dimili-ki. Jangankan ilmu hisab dengan proses perhitungan yang rumit, kemampuan berhitung angka saja masih sangat terbatas. Hal ini sebagai yang diakui oleh Rasulullah saw. sendiri :
إنا أمة أمية لا نكتب ولا نحسب الشهر هكذا وهكذا وهكذا وعقد الإبهام في الثالثة والشهر هكذا وهكذا وهكذا يعني تمام ثلاثين
Lain lagi persoalannya, jika pada masa itu ilmu hisab (ilmu falaq) sudah dikuasai oleh Rasulullah bersama para sahabat, ma-ka tidak digunakannya ilmu hisab untuk penentuan waktu-waktu peribadatan menjadi satu ketetapan; penggunaan ilmu hisab men-jadi bid‘ah yang, karenanya menjadi terlarang digunakan dalam penentuan waktu-waktu peribadatan.
Atas perihal yang sama, kasus pengkodifikasian Quran dalam bentuk mushaf atau buku yang dicetak, bahkan dewasa ini dalam bentuk digital. Padahal di zaman Rasulullah saw. Quran tidak di-kodifikasikan dan beliau pun tidak juga memerintahkannya. Apakah kodifikasi Quran dalam bentuk mushaf menjadi terla-rang?
Kodifikasi Quran belum ada, tetapi para sahabat sudah dipe-rintahkan untuk membaca Quran. Memang, kegiatan membaca Quran pada saat itu, bukan melihat hurup-hurup yang tertulis dalam lembaran mushaf. Akan tetapi melafalkan ayat-ayat Quran yang sebelumnya sudah dihapal terlebih dahulu. Haruskah saat ini, ayat demi ayat dan surat demi surat dihapal terlebih dahulu, baru kemudian dibaca? Apakah sekarang tidak boleh cukup dengan membuka lembaran-lembaran mushaf lalu membacanya, tanpa hapal terlebih dahulu?
Kodifikasi Quran belum dilakukan di zaman Rasulullah saw, bukan karena Quran tidak boleh dikodifikasikan, tetapi belum begitu diperlukan dan tidak mungkin untuk dilakukan. Untuk terpeliharanya kemurnian Quran sekaligus ajaran Islam pada saat itu,  pengkodifikasian Quran belum diperlukan. Karena pada masa itu: 1) Rasulullah saw masih hidup yang, atas jaminan Allah apa yang telah diwahyukan kepadanya, ia tidak akan lupa ; 2) Proses pewahyuan masih berjalan dan Malaikat Jibril senantiasa memeriksa bacaan Rasulullah saw ; 3) Para sahabat banyak yang hapal Quran, konon orang Arab dikenal sangat kuat hapalannya; dan 4) Kemampuan, media dan perlengkapan untuk kodifikasi belum cukup memadai.
Sepeningal Rasulullah – lebih-lebih saat ini –,  kondisi sudah berubah sedemikian rupa, ketiga hal di atas sudah tidak ada lagi dan kemampuan, media dan perlengkapan kodifikasi sudah ter-sedia lebih dari cukup. Kodifikasi Quran hampir-hampir menjadi satu keniscayaan untuk terpeliharanya kemurnian Quran dan se-kaligus ajaran Islam.
Lalu apa dasar hukumnya Quran itu dikodifikasikan, sebagai-mana pula apa dasar hukumnya hisab dalam penentuan waktu-waktu peribadatan khususnya 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 10 Dzulhijjah  Alasan-alasan sebagaimana yang disebutkan di atas, dalam ilmu ushul fiqh disebut dengan istièlaò atau maèlaòaú al-mursalaú yang banyak dikembangkan terutama di mazhab Maliki.
F.    Kriteria Wujud al-Hilal; Dasar dan Argumen Hukumnya
Berdasarkan redaksi matannya, hadits-hadits yang sering dijadikan dasar ru`yat al-hilal dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matn.
 Pertama, hadits dari Abu Hurayrah, Ibn `Umar dan Abu Bakrah,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

Huruf “lam” pada kata “li ru’yatih” dalam matan hadis di atas, menurut Al-Ùaybi “li al-waqti, li al-tawqît”  dan Ibn Daqîq al-‘Id “li al-ta’qît” yang menunjukkan waktu secara majaz; bukanlah lam li al-ta‘lîl yang menunjukkan sebab. Sehingga perintah dalam hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat hilal sudah terlihat atau dengan kata lain berpuasa sesudah hilal terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta‘lîl maka perintah tersebut lanjut Ibn Daqîq al-‘Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat . Analisis al-Thaybi atau Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh keberadaan hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi matan yang bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam perintah shalat:

Jika hadits-hadits di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung) melihat hilal untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka ayat tersebut pun merupakan perintah untuk melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat. Saat ini, rasanya sudah tidak ada lagi – kecuali yang sedang musafir tidak bawa jam dan tidak tahu jadwal shalat – orang yang mau shalat melihat matahari terlebih dahulu, bahkan untuk berbuka dan waktu imsyak selama bulan Ramadhan pun cukup melihat jam dan jadwal shalat maghrib dan shubuh yang, nota bene merupakan produk hisab. Hanya saja ketika mengawali dan apalagi mengakhiri shaum Ramadhan (Iedul Fithri) berubah menjadi meragukan hisab yang sudah dipakainya selama sebulan,  mesti dengan ru`yat saja. 
Dengan demikian, bagi Muhammadiyah keterlihatan hilal sama sekali tidak menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu saja. Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan ru`yat saja. Ru’yat al-hilal hanyalah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau bagian integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm, lalu apa yang sesungguhnya yang menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan hokum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm?
Bagi Muhammadiyah dengan memahami hadis-hadis di atas, secara lebih utuh, yang menjadi sabab al-òukmi  bukan keterlihatan hilal, tetapi keberadaan (wujûd al-hilâl) karena potongan hadis selanjutnya, “fa in gumma atau gubiya” artinya hilal tidak dapat dilihat (bisa terhalangi atau memang belum wujud), maka jumlah hari dari bulan yang sedang berjalan (Sy‘aban atau Ramadhan) harus digenapkan menjadi tiga puluh, maka lusa harinya wajib berpuasa atau berlebaran, sekalipun hilal tidak dapat dilihat, tetapi karena sudah dapat dipastikan hilal sudah wujud sekalipun tidak bisa dilihat.
Dengan kata lain, pada saat dilakukan istikmâl, hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa atau berbuka (hari raya) sudah wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat dipastikan (diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada tanggal/hari ke-31 pada bulan-bulan Qamariyah, sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.  Jadi dengan demikian yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru’yat al-hilal. Hal ini sejalan dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushul fiqh,
ما يلزم  من وجوده الوجود ومن عدمه العدم لذاته
atau dalam rumusan yang lebih jelas:
ما يستلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم الحكم
Kedua, hadits dari Abu Hurayrah, dengan redaksi matan:
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Keterlihatan hilal sebagai yang disebut dalam matan hadits di atas, bukanlah syarth al-hukm (syarat wajib berpuasa atau berbuka), sekalipun diawali dengan kata “idza”. Karena kelanjutan dari matan hadits tersebut menjelaskan sekalipun hilal tidak terlihat,  manakala bulan sudah 30 hari menjadi wajib berpuasa atau berbuka. Jika keterlihatan hilal itu menjadi syarat, niscaya ketika tidak terlihat tidak ada kewajiban berpuasa atau berbuka, sebagai yang ditegaskan al-Qarafi bahwa yang disebut syarat itu,
بأن الشرط يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته
atau sesuai dengan pengertian syarat dalam rumusannya yang sederhana:
مالا يستلزم من وجوده وجود الحكم و يستلزم من عدمه عدم الحكم

Ketiga, hadits yang diterima dari Ibn `Umar, Ibn `Abbas, Abu Hurayrah dengan redaksi matan:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدد العدة ثلاثين
Dengan matan hadits di atas, tidak dapat dipahami sebaliknya (dalalah mafhum mukhalafah) karena ada kata “hatta”  (mafhum ghayah); manakala hilal belum terlihat menjadi tidak wajib berpuasa dan berbuka. Karena pemahaman sebaliknya bertentangan dengan penjelasan dari  kelanjutan matan tersebut yang secara langsung dan tegas  menunjukkan (dalalah manthuq) sekalipun tidak terlihat manakala bilangan bulan sudah tiga puluh (hasil istikmal), tidak bisa tidak kecuali harus berpuasa atau berbuka.
Hadits-hadits di atas, di samping sering disebut-sebut sebagai dasar hukum rukyat, juga sebagai dasar dilakukan istikmal ketika langit berawan atau mendung sehingga mata tidak dapat melihat hilal. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kalau tidak mendung? Adakah alasan untuk istikmal?
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan hilal tidak dapat dilihat. Pertama, karena memang hilal belum wujud, negative di bawah ufuk, pada keadaan semacam inilah, baik ahli rukyat maupun hisab sepakat melakukan istikmal bulan yang sedang berlangsung;
Kedua, hilal sudah wujud dan berada pada posisi yang dapat dilihat, tetapi karena berawan menjadi tidak terlihat. Pada keadaan semacam ini pula, berdasar makna dhahir hadits-hadits tersebut, ahli ru`yat melakukan istikmal bulan yang sedang berlangsung, sedang ahli hisab yang berkriteria imkan al-ru`yat apalagi yang berkriteria wujud al-hilal, berkeyakinan sudah terjadi pergantian bulan.
Ketiga, hilal sudah wujud (positif di atas ufuk) tetapi pada ketinggian yang tidak mungkin dapat dilihat. Pada kondisi semacam ini ahli ru`yat dan ahli hisab imkan al-ru`yat melakukan istikmal, sedangkan ahli hisab wujud al-hilal berkeyakinan sudah terjadi pergantian bulan baru.
Sebaliknya, perintah untuk menghitung (fa‘uddû, faqdurû lah), yang oleh jumhur ditafsirkan sebagai istikmal . Akan tetapi, apa yang dilakukan Ibn `Umar sebagai periwayat pertama hadits “fa in gumma `alaykum faqduru lah” justru sebaliknya berbeda dengan jumhur dan juga tidak menggunakan perhitungan seperti yang diberitakan oleh Nafi`:
وكان ابن عمر إذا مضى لشعبان تسع وعشرون نظر له الهلال فإن رؤي فذاك وإن لم يروا لم يحل دون منظره سحاب ولا قتر أصبح مفطرا وإن حال دون منظره سحاب أو قتر أصبح صائما قال وكان ابن عمر يفطر مع الناس ولا يأخذ بهذا الحساب
Berbeda dengan jumhur dan Ibn `Umar, menurut Muhammad ibn Sirrin, dengan adanya perintah faqdurû lah tersebut, sebagian tabi`in mengambil pertimbangan (`itibar) berdasarkan bintang-bintang, fase-fase bulan dan metode hisab. Demikian juga, fuqaha Bashrah, memahaminya dengan memperhatikan fase-fase bulan.  Sejalan dengan itu, menurut Muhammadiiyah Istikmal sekalipun dapat dipandang hisab dalam bentuknya yang masih sangat sederhana.
Mengingat keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan hilal (wujud al-hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl. Sebagai yang telah dikonsepsikan di atas, kriteria ini mensyaratkan terjadinya ijtimâ‘ plus posisi bulan positif di atas ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Ijtima` dijadikan patokan pertama, sebagai salah satu unsure mutlak criteria penentuan awal bulan. Hal ini sejalan dengan yang disebutkan al-Quran bahwa bilangan bulan itu ada dua belas.

Sementara menurut astronomi, diketahui ijtima` itu terjadi sebanyak 12 kali dalam satu tahun atau sebulan sekali . Dengan demikian, secara astronomi dapat dikatakan 1 bulan itu adalah dari satu ijtima` ke ijtima` berikutnya, yakni lamanya bulan mengelilingi bumi dari satu fase (manzilah) ke fase berikutnya sampai pada fase yang terakhir sehingga bulan kembali kepada keadaan saat-saat terjadinya ijtima`. Sebelum terjadi ijtima` dapat disebut bulan terlihat semakin mengecil, sedangkan setelah ijtima` bulan terlihat semakin membesar. Keadaan bulan semacam inilah sebagai yang dinyatakan al-Quran

Akan tetapi ijtima` saja, tidak dapat dijadikan patokan penetapan awal bulan baru – new moon bukan new month -- karena secara astronomis perbandingan ukuran piringan bulan dan piringan matahari selalu berubah-ubah. Oleh karena itu diperlukan hal lain sebagai penentu awal bulan baru, sebagai yang diisyaratkan al-Quran

Sejalan dengan apa yang dinyatakan dalam ayat di atas, bahwa matahari tidak mungkin mengejar bulan, menurut astronomi bahwa gerak semu matahari dalam perjalanan tahunannya jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan gerak bulan dalam perjalanan bulanannya yang kedua-duanya sama-sama bergerak dari arah barat ke timur. Bulan menempuh jarak lebih dari 13, 2º, sedangkan matahari kurang dari 0,1º, karena itu tidak mungkin bagi matahari dapat mengejar bulan.
Jika dihubungkan dengan ayat yang sebelumnya, maka dapat memberikan pengertian bulan baru itu dimulai ketika bulan telah mendahului matahari dalam geraknya masing-masing dari arah barat ke timur. Saat matahari terkejar itulah dalam astronomi disebut ijtima`. Sekalipun ijtima` dapat dipedomani sebagai perpindahan bulan, tetapi sangat sulit untuk diterapkan karena bisa terjadi di sembarang waktu (pagi, siang, sore atau malam hari). Untuk itu diperlukan “pembatas waktu”  yang bisa menyatakan bahwa bulan telah mendahului matahari. Dalam hal ini, sebagai yang diisyaratkan ayat di atas,

pembatas waktu itu adalah saat-saat pergantian siang dan malam, yakni saat matahari terbenam. Dengan kata lain apabila pada saat matahari terbenam, bulan telah berada di atas ufuk – tanpa memperhitungkan ketinggiannya -- maka saat itulah dapat dinyatakan bulan baru (new month).

G.    Penutup
Dengan demikian, baik rukyat maupun hisab sama-sama memiliki dasar dan argumen hukum, sehingga masing-masing secara berdiri sendiri memeiliki kedudukan hokum yang sama.
Rukyat al-hilal adalah satu-satunya metode untuk mengetahui keberadaan hilal (wujud al-hilal) sebagai pertanda awal bulan di zaman Rasulullah saw. Akan tetapi rukyat bukanlah kriteria mutlak penentu awal bulan, karena perintah rukyat dilatarbelakangi oleh kondisi ummat yang belum memiliki pengetahuan dan kemampuan perhitungan astronomi. Kondisi ummat berubah, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya astronomi telah melahirkan metode hisab yang dapat memberikan akurasi perhitungan waktu yang meyakinkan. Rukyat hanyalah sekedar metode, bukan substansi atau bagian dari ibadah shaum khususnya. Karena itu jika sudah ditemukan metode hisab, aktivitas merukyat tidak lagi menjadi satu keniscayaan agama yang tidak boleh ditinggalkan.
Sejalan dengan itu, keterlihatan hilal bukanlah sebab juga bukan syarat wajib berpuasa atau berbuka. Keberadaan hilallah yang menjadi sebab keharusan berpuasa atau berbuka. Karena itu kriteria hisab yang dipilih pun, adalah kriteria wujud al-hilal.
Wallohu `Alam bi al-Shawab.-

Penjelasan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Soal penetapan Idul Fitri


Terkait Adanya pertanyaan di kalangan beberapa orang anggota masyarakat tentang lebaran besok Selasa di mana puasanya dengan demikian hanya 29 hari, apakah itu sah? Jawabannya adalah bahwa Nabi saw dalam beberapa hadisnya menyatakan bahwa umur bulan itu 29 hari atau terkadang 30 hari. Jadi orang yang berpuasa 29 hari dan berlebaran besok adalah sah karena sudah berpuasa selama satu bulan. Secara astronomis, pada hari ini, Senin 29 Agustus 2011, Bulan di langit telah berkonjungsi (ijtimak), yaitu telah mengitari bumi satu putaran penuh, pada pukul 10:05 tadi pagi. Dengan demikian bulan Ramadan telah berusia satu bulan. Dalam hadis-hadis Nabi saw, antara lain bersumber dari Abu Hurairah dan Aisyah,  dinyatakan bahwa Nabi saw lebih banyak puasa Ramadan 29 hari daripada puasa 30 hari. Menurut penyelidikan Ibnu Hajar, dari 9 kali Ramadan yang dialami Nabi saw, hanya dua kali saja beliau puasa Ramadan 30 hari. Selebihnya, yakni tujuh kali, beliau puasa Ramadan 29 hari.
Mengenai dasar penetapan Idulfitri jatuh Selasa 30 Agustus 2011 adalah hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria (1) Bulan di langit untuk bulan Ramadan telah genap memutari Bumi satu putaran pada jam 10:05 Senin hari ini, (2) genapnya satu putaran itu tercapai sebelum Matahari hari ini terbenam, dan (3) saat Matahari hari ini nanti sore terbenam, Bulan positif di atas ufuk.  Jadi dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi. Kriteria ini tidak berdasarkan konsep penampakan. Kriteria ini adalah kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu. Kriteria ini menetapkan masuknya bulan baru dengan terpenuhinya parameter astronomis tertentu, yaitu tiga parameter yang disebutkan tadi.
Mengapa menggunakan hisab, alasannya adalah:
  1. Hisab lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan,
  2. Hisab mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.
Di pihak lain, rukyat mempunyai beberapa problem:
  1. Tidak dapat memastikan tanggal ke depan karena tanggal baru bisa diketahui melalui rukyat pada h-1 (sehari sebelum bulan baru),
  2. Rukyat tidak dapat menyatukan tanggal termasuk menyatukan hari puasa Arafah, dan justeru sebaliknya rukyat mengharuskan tanggal di muka bumi ini berbeda karena garis kurve rukyat di atas muka bumi akan selalu membelah muka bumi antara yang dapat merukyat dan yang tidak dapat merukyat,
  3. Faktor yang mempengaruhi rukyat terlalu banyak, yaitu (1) faktor geometris (posisi Bulan, Matahari dan Bumi), (2) faktor atmosferik, yaitu keadaan cuaca dan atmosfir, (3) faktor fisiologis, yaitu kemampuan mata manusia untuk menangkap pantulan sinar dari permukaan bulan, (4) faktor psikologis, yaitu keinginan kuat untuk dapat melihat hilal sering mendorong terjadinya halusinasi sehingga sering terjadi klaim bahwa hilal telah terlihat padahal menurut kriteria ilmiah, bahkan dengan teropong canggih, hilal masih mustahil terlihat.
Memang perlu dilakukan upaya untuk menyatukan sistem penanggalan umat Islam agar tidak lagi terjadi perbedaan-perbedaan yang memilukan ini. Untuk itu kita harus berani beralih dari rukyat (termasuk rukyat yang dihisab) kepada hisab. Di zaman Nabi saw rukyat memang tidak menimbulkan masalah karena umat Islam hanya menghuni Jazirah Arab saja dan belum ada orang Islam di luar jazirah Arab tersebut. Sehingga bila bulan terlihat atau tidak terlihat di jazirah Arab itu, tidak ada masalah dengan umat Islam di daerah lain lantaran di daerah itu belum ada umat Islam. Berbeda halnya dengan zaman sekarang, di mana umat Islam telah menghuni seluruh penjuru bumi yang bulat ini. Apabila di suatu tempat hilal terlihat, maka mungkin sekali tidak terlihat di daerah lain. Karena tampakan hilal di atas muka bumi terbatas dan tidak meliputi seluruh muka bumi. Rukyat akan menimbulkan problem bila terjadi pada bulan Zulhijah tahun tertentu. Di Mekah terlihat, di Indonesia tidak terlihat, sehingga timbul masalah puasa Arafah.
Jadi oleh karena itu penyatuan itu perlu, dan penyatuan itu harus bersifat lintas negara karena adanya problem puasa Arafah. Artinya siapapun yang mencoba mengusulkan suatu sistem kalender pemersatu, maka kalender itu harus mampu menyatukan jatuhnya hari Arafah antara Mekah dan kawasan lain dunia agar puasa Arafah dapat dijatuhkan pada hari yang sama. Ini adalah tantangan para astronom Indonesia. Kita menyayangkan belum banyak yang mencoba memberikan perhatian terhadap penyatuan secara lintas negara ini. Perdebatan yang terjadi baru hanya soal kriteria awal bulan, yang itu hanya sebagian kecil saja dari keseluruhan masalah penyatuan kalender.
Sementara kita masih belum mampu menyatuakan penanggalan hijriah, maka bilamana terjadi perbedaan kita hendaknya mempunyai toleransi yang besar satu terhadap yang lain dan saling menghormati. Sembari kita terus berusaha mengupayakan penyatuan itu.